Minggu, 13 Mei 2012

RAKER JILID 2 IPNU-IPPNU TIKUNG

nahdliyyin-muda Tikung.

Rapat Kerja Jilid 2 (RKJ-2) adalah forum khusus bagi nahdliyyin-muda IPNU-IPPNU Tikung, yang digagas untuk: [1] evaluasi dan reshuffle struktur kepengurusan, [2] evaluasi dan penyusunan program jilid 2 Pimpinan Anak Cabang-Kebangkitan IPNU-IPPNU Tikung.

Rapat kerja ini dilaksanakan di SMK Ma'arif Mantup, dilaksanakan pada tanggal 12-13 Mei 2012. Bertindak sebagai kordinator pelaksananya adalah Taufik Zen. Dan tentu saja, dikarenakan bertempat di Mantup, maka Pimpinan Anak Cabang IPNU Mantup adalah pihak yang paling banyak berjasa dan mendukung di dalam suksesi kegiatan ini, di samping Keluarga Besar SMK Ma'arif Mantup.

Rapat Kerja Jilid 2 ini adalah yang kali pertama dilaksanakan di dalam sejarah NU Tikung. Pasalnya, sepanjang sejarah NU ada di Tikung, dan beberapa kali IPNU-IPPNU ada di Tikung, belum pernah ada yang pernah menyelenggarakan Rapat Kerja Jilid 2 seperti ini. Pastinya, ini patut diapresiasi secara khusus. Semoga saja, langkah maju ini adalah pertanda baik, khususnya bagi keberlangsungan dan masa depan nahdliyyin-muda IPNU-IPPNU Tikung.

RKJ-2 ini digagas dengan mengusung tema yang sekaligus menjadi spiritnya, yaitu "Rapatkan Barisan. Satu Hati, Satu Pikiran, Satu Perjuangan." Dengan spirit ini, semua warga muda NU Tikung di manapaun berada, diharapkan bisa merepatkan barisan, untuk bersama-sama menyatukan hati, pikiran dan perjuangan. Salah satu program utama yang berhasil ditelorkan dalam rangka merapatkan barisan semua warga muda NU Tikung ini adalah keinginan untuk melaksanakan Temu Warga Muda NU Tikung; Pelajar, Santri dan Mahasiswa Tikung.

Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi langkah ini.

Rabu, 09 Mei 2012

UNTUK DIHAYATI

Cinta dan bencimu terhadap sesuatu adalah ujianmu. 
Jangan sampai cinta dan bencimu mengeruhkan kejernihan penilaian mata batinmu. 
Letakkan secara tepat antar dan di antara keduanya!

MELESTARIKAN TRADISI BARZANJI

Oleh: Hamidulloh Ibda*

Memasuki bulan Rabi’ul Awal (bulan Maulid), sebagian umat Islam selalu merayakan budaya barzanji atau orang jawa sering menyebutnya barjanjen. Untuk menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, lantunan shawalat dan puji-pujian atas Nabi selalu ramai terdengar dari masjid dan musholla. Dengan suara merdu, diiringi alunan nada rebana menjadikan pesona keceriaan bulan Maulid.

Sebagai umat Islam yang cinta kepada Rasulullah, tentu akan mengekspresikannya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan barjanjen. Karena cinta kepada Nabi merupakan kewajiban bagi semua umat Islam.

Sejak tanggal 1-12 bulan Rabi’ul Awal, jutaan umat Islam selalu melakukan tradisi barzanji. Membaca kitab Barzanji merupakan tradisi sebagian umat Islam di Indonesia, baik yang di pedesaan maupun perkotaan selalu melestarikan tradisi tersebut.

Sejarah Barzanji

Al-Barzanji adalah kitab karangan “Syekh Ja’far bin Husain bin Abdul Karim al-Barzanji”. Beliau lahir di Madinah tahun 1690 M, dan wafat tahun 1766 M. Barzanji berasal dari nama suatu daerah di Kurdikistan Barzinj. Sebenarnya, kitab tersebut berjudul ‘Iqd al-jawahir (kalung permata), tapi kemudian lebih terkenal dengan sebutan al-barzanji.

Kitab tersebut, menceritakan tentang sejarah Nabi Muhammad yang mencakup silsilahnya, perjalanan hidup semasa kecil, remaja, menginjak dewasa hingga diangkat menjadi Rasul. Selain itu, juga menyebutkan sifat-sifat Rasul, keistimewaan-keistimewaan dan berbagai peristiwa yang bisa dijadikan teladan bagi umat manusia. Dengan bahasa dan sastra yang tinggi menjadikan kitab ini enak dibaca.

Di Indonesia, barzanji adalah kitab yang populer di kalangan orang Islam, terutama di Jawa. Kitab ini merupakan bacaan wajib pada acara-acara barjanjen atau diba’ yang merupakan acara rutin bagi sebagian kaum muslim di Indonesia.

Kontroversi Budaya Barzanji

Banyak dari kalangan umat Islam yang menolak tradisi barjanjen. Mereka menganggap bid’ah  karena  perbuatan tersebut tidak dilakukan Rasulallah SAW. Selain itu, barzanji hanyalah karya sastra, bukan menjadi rujukan sumber orang Islam seperti Al Qur’an dan Hadist. Jadi, mereka menolak dengan tegas terhadap tradisi tersebut.

Namun, sebagian pihak menganggap pembacaan Al-barzanji adalah refleksi kecintaan umat terhadap figur Nabi sebagai pemimpin agamanya sekaligus untuk meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada Nabi berarti juga kecintaan, ketaatan kepada Allah SWT.

Menurut penulis, tradisi ini meskipun banyak yang setuju dan tidak setuju, harus ada pemahaman yang tajam. Pasalnya, hampir seluruh umat Islam di Indonesia melestarikan tradisi ini. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim menyatakan,”Barang siapa melakukan amalan tidak sebagaimana sunnahku, maka amalan itu tertolak”. Wallahu ‘alam bisshowab. Hanya Allah yang maha mengetahui.

Membumikan Barzanji

Selain dilakukan pada bulan Maulid, tradisi barzanji juga dilakukan kaum muslim pada setiap moment penting seperti pengajian, tasyakuran pernikahan, kelahiran anak, menjelang keberangkatan haji dan sebagainya.

Barjanjen, merupakan tradisi yang dilakukan sejak dulu, terutama bagi umat Islam warga Nahdliyyin (warga NU). Mereka membacanya pada tiap malam Jumat dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren di Jawa Tengah, barjanjen menjadi kegiatan wajib.

Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi sepertinya sudah melembaga, bahkan ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setiap memasuki Rabi’ul Awal, berbagai ormas Islam, masjid, musholla, institusi pendidikan, dan majelis taklim bersiap memperingatinya dengan beragam cara dan acara; dari sekadar menggelar pengajian, dialog keagamaan, bakti sosial, hingga ritual-ritual yang sarat tradisi (lokal).

Di antaranya adalah: Manyanggar Banua, Mapanretasi di Pagatan, Ba’ayun Mulud (Ma’ayun anak) di Kab. Tapin, Kalimantan Selatan. Sekaten, di Keraton Yogyakarta dan Surakarta, Gerebeg Mulud di Demak, Panjang Jimat di Kasultanan Cirebon, Mandi Barokah di Cikelet Garut, dan sebagainya.

Tradisi barzanji, seharusnya menjadi spirit beragama bagi kaum muslim. Idealnya, barzanji bukan hanya sebagai rutinitas saja. Esensi Maulid Nabi adalah spirit sejarah dan penyegaran ketokohan Nabi sebagai satu-satunya idola teladan yang seluruh ajarannya harus dibumikan. Figur idola menjadi miniatur dari idealisme, kristalisasi dari berbagai falsafah hidup yang diyakini. Teladan sejarah dan penyegaran ketokohan itu dapat dilakukan kapan pun, termasuk di bulan Rabi’ul Awal.

Berpijak dari itu, sudah saanya umat Islam melestarikan tradisi tersebut. Pasalnya, dewasa ini banyak orang islam yang beragama setengah hati, atau dengan kata lain “Islam KTP”. Secara logika, daripada melestarikan budaya barat, lebih baik melestarikan budaya islam sendiri, sebagai suatu wujud ketaatan hamba dengan Tuhannya.

Jadi, melihat tradisi barjanjen yang hanya menjadi rutinitas di bulan maulid, penulis lebih sepakat dan mendukung untuk melestarikan budaya barjanjen yang harus dijalankan setiap waktu, kapan pun dan dimana pun. Hal itu termasuk wujud bukti kecintaan kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW.

Meskipun momen bulan maulid terasa sudah lewat, namun melestarikan tradisi barzanji merupakan sebuah keniscayaan bagi warga NU. Menjadi umat yang cinta Nabi Muhammad SAW, sudah saatnya membumikan tradisi ini sejak dini. Mau tidak mau, barzanji merupakan ciri khas warga NU. Jadi, melestarikan tradisi barzanji adalah harga mati.
 
* Penulis di bulletin NUsantara IAIN Walisongo, Takmir Musholla Nurul Falah Semarang

sumber: www.nu.or.id

DALIL TAHLILAN

oleh: KH. Abdul Manan A.Ghani*

Secara lughah tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.”  Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya. 

Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit, menurut pendapat mayoritas ulama’ (jumhur ul-ulama) adalah boleh, dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;
عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ
Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)

Sementara Imam Syafi’i mengatakan bahwa:
وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا
Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.

Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan do’a, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdo’a untuk mayit.

Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.

Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainlainnyaakan lebih bermanfaat bagi si mayit.

Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:
وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ
Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.

*penulis adalah Ketua Lembaga Ta'mir Masjid PBNU.

Sumber: www.nu.or.id
Judul: Bentang Pasantren
Pengarang: Usep Romli H M
Penerbit: Kiblat Buku Utama
Cetakan: Ke-4 
Tahun : 2011
Tebal: 70 Halaman 
Peresensi: Abdullah Alawi

 



Pesantren memiliki dunianya sendiri dengan kiai sebagai pusatnya (Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, 1982). Dengan demikian, pesantren  memiliki ciri khas sendiri, norma sendiri yang berbeda dengan dunia luar, kendati hanya beberapa meter jaraknya. Meminjam istilah Gus Dur, yang demikian itu, disebut subkultur.

Begitu juga dalam urusan cinta. Pesantren punya cara sendiri mengekspresikannya. Hal itu bisa kita nikmati dalam novel berbahasa Sunda Bentang Pasantren karya Usep Romli HM.

Novel ini mengisahkan seorang santri bernama Aep, jatuh cinta kepada putri ajengan (gelar kiai di Pasundan) bernama Imas. Selain cantik jelita, Imas juga ahli qiroah sab’ah dengan suara merdu. Suaranya mirip Rofiqoh Darto Wahab (Penyanyi Lesbumi di tahun 60-an) (halaman 9)

Tetapi, tata tertib pesantren sangat ketat. Jangankan bercengkrama, untuk sekadar melihat wajah, susahnya bukan main. Hanya rindu yang menggelayut di dada Aep. Antara cemas dan harap campur-baur setiap malam. Apalagi ketika ia tahu santri-santri senior dan lurah santri juga menaruh hati kepada Imas. Diam-diam mereka sudah lebih dulu mengirim surat cinta. Persaingan dingin terjadi.

Tanpa disengaja, Aep bertemu Imas di Pemandian. Keduanya hanya bertatapan, terpana, kemudian kabur. Tak dinyana, pertemuan itu dilaporkan kepada lurah santri. Meski tidak melakukan apa-apa, Aep ditajir, rambutnya dibotak sebelah.

Ta’jir memicu Aep semangat mengaji. Ia melampiaskan kemarahannya dengan melalab kitab-kitab yang diajarkan. Karena ketekunannya, ia punya kesempatan untuk sorogan secara khusus kepada Mama Ajengan.

Nah, pada setiap sorogan itulah Aep merasa selalu ada suara berjinjit di pelupuh, kemudian mengintip di balik gorden tempat ia sorogan kepada Mama Ajengan.

Jeung nu kacida nguntungkeun, eta saban-saban kuring rek asup ka kamar panglinggihan Mama nu husus diangge tempat anjeuna ngawuruk, jeung nyimpen kitab, reregan kamar sagigireunna sok katenjo oyag-oyagan. Lebah dinya sok katenjo aya teuteup ngajorelat, nyerangkeun saliwat, samemeh ngelok ka jero. (halaman 56-57)

(Yang menguntungkan, setiap aku masuk ke kamar Ajengan, khusus tempat sorogan, dan menyimpan kitab, gorden kamar sebelah tampak bergoyang-goyang. Di situlah aku melihat tatap selintas, kemudian hilang).

Meski tidak jelas benar, Aep yakin suara pelupuh, gorden bergoyang dan pengintip itu adalah Imas, pujaan hatinya, bentang pasantren, yang bersuara merdu. Dan ia yakin itu pertanda cintanya gayung bersambut, berbalas. Berdasar keyakinan ini, ia makin semangat mengaji.

Bentang Pasantren karya Usep ini mampu menampilkan kearifan pesantren seperti kebersamaan, setia kawan, taat aturan, menghormati orang tua, qonaah, dan menghargai waktu. Semua itu merupakan ajaran yang diilhami ayat Al-Quran, hadis, qaul ulama, dan teladan ajengan, yang sudah bersenyawa dengan kehidupan pesantren.

Usep yang pernah mendapat anugerah sastra Rancage dari Yayasan Rancage ini, kisah percintaan dengan ruang pertemuan yang demikian sempit. Ia lihai menggambarkan suasana hati Aep dengan menukil Syair-Syair Kerinduan Umrul Qais. Usep paham dunia pesantren karena pernah ada di dalamnya.

Pengarang kahot (populer) ini juga pandai menampilkan percakapan cerdas diselingi guyon sehingga pembaca bisa imut gelenyu (tersenyum) atau cacalakatan (tertawa terbahak-bahak).

Sayangnya, Usep tidak terlalu detail dalam menggambarkan suasana pesantren ketika mengaji, dan jumlah kobong, misalnya. Dan perjumpaan Aep bersama Imas selalu berdasarkan kebetulan-kebetulan yang beruntun.

sumber: www.nu.or.id

ASWAJA

Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan masalah khilafiyah sekitar tahlil, talqin, qunut, bacaan ushalli dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan Ahlus sunnah wal jamaah jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai khilafiyah tersebut. Karena itu kiranya membutuhkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.

Asal Kata
Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,
Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ
Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.
Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa: istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.

Pengertian
Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut; bahwa kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan. Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik. Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul Quran, tidak bisa lain.
Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti “dan”. Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.
Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau. Kata aljamaah berarti juga para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui: sebab musabab sesuatu hadits timbul, situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dan hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.
Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.
Dengan demikian secara literal, Ahlussunnah wal-Jama’ah berarti “Pendukung Sunnah (Nabi Saw) dan Jama’ah.” Para pendukungnya adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi Saw dan Jama’ah sebagai tiang utama bangunan keislaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya, bangunan Islamnya goyang, bahkan bisa jadi hancur. Dengan kata lain, orang yang tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar dari Jama’ah, maka dia bukan lagi bagian dari masyarakat Islam.
Firqah-Firqah dalam Konteks Sejarah
Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.
Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Hal ini juga terjadi sebagai akibat bercampurbaurnya urusan keagamaan dengan urusan pemerintahan.
Hal yang mendasari kelahiran berbagai golongan dalam Islam ialah setelah munculnya masa fitnah, yakni terbunuhnya khalifah Usman bin Affan RA. Saat itu para sahabat memilih Ali bin Abi Thalib RA untuk menggantikan Usman sebagai khalifatul mukminin. Namun, pengangkatan Ali bin Abi Thalib melahirkan perlawanan dari Muawiyah bin Abi Sufyan, Aisyah, Thalhah dan Zubair bin Awwam. Mereka menuntut agar khalifah Ali menangkap dan memberlakukan Qishash kepada para pembunuh Usman. Muawiyah memerangi Ali karena ia adalah kerabat dekat Usman, dan juga karena ingin berkuasa.
Aisyah istri rasul, memerangi Ali bin Abi Thalib dan kemudian berhasil dikalahkan (perang tersebut dinamakan perang jamal, karena Aisyah mengendarai unta). Setelah itu pasukan Ali bertempur melawan pasukan Muawiyah. Ketika pasukan khalifah Ali berhasil mendesak pasukan Muawiyah, maka panglima Muawiyah, Amar bin Ash, melancarkan siasat Tahkim (mengangkat al-Quran) agar mereka tidak di bunuh. Sebagai gantinya mereka menawarkan perundingan. Khalifah Ali kemudian menerima usul itu. Dalam perundingan, Khalifah Ali diwakili Abu Musa Al-Asy’ari, sedang Muawiyah diwakili Amar bin Ash. Ternyata hasil perundingan merugikan pihak khalifah Ali, karena Abu Musa tertipu siasat Amar yang memberhentikan Ali dan mengangkat Muawiyah sebagai khalifah yang baru. Kelompok yang mendukung Ali disebut kaum Syiah. Lambat laun, Syiah tidak hanya berkembang sebagai sebuah gerakan politik. Bahkan mereka juga menjadi suatu kelompok dalam Islam dan memiliki penafsiran keagamaan tersendiri. Kaum Syiah mengkultuskan Ali bin Abi Thalib, sebagai penerus keimaman pasca rosulullah SAW, bahkan mewariskannya hingga beberapa garis keturunan Ali. Paham keagamaan mereka tertuju kepada beberapa figure, seperti: bidang fiqh mereka merujuk kepada Imam Ja’far shodiq, bidang Hadits mereka mengikuti al-Kulaini, bidang tasawuf mereka bersumber kepada Mulla Shadra, sedangkan teologi mereka lebih dekat kepada Mu’tazilah.
Diantara para pendukung Ali, juga terdapat golongan yang memisahkan diri, karena menolak diadakannya perundingan dengan kelompok Muawiyah. Mereka menganggap keimaman Ali, dikalahkan oleh urusan politik, sehingga tidak perlu lagi diikuti. Golongan ini populer disebut dengan istilah Khawarij. Ciri umum kelompok ini adalah terlalu kaku, radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur. Golongan ini adalah golongan yang gemar mengkafirkan muslim lainnya, karena mereka menafsirkan Al-Quran secara kaku sebagaimana yang tertulis dan terkadang meninggalkan As-sunnah. Padahal dalam memahami Al-Qur’an sebagai hukum saja, harus dimengerti dengan bantuan asbabul nuzul, wurud dan kaidah-kaidah lainnya. “Al-Qur’an itu terlalu umum sehingga apapun yang kamu sampaikan akan ada bantahannya yang juga diambilkan dari al-Qur’an. Berargumenlah dengan Sunnah,”demikian kata Ali bin abi Thalib. Jadi walaupun al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam, pada prakteknya Sunnah inilah yang paling sering dirujuk.
Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu’tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.

Ahlu Sunnah Wal-Jamaah
Adapun Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah (Aswaja) tidaklah lahir dari suatu pertikaian politik, karena aswaja sebuah golongan yang meneruskan konsep jamaah sepeninggal Rosulullah SAW. Setelah Sunnah, otoritas yang bisa menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus menjadi pedoman masyarakat Muslim adalah Jama’ah. Bagi orang Sunni (pengikut Aswaja), sepeninggal Nabi otoritas jatuh ke tangan masyarakat Islam, yang disebut Jama’ah. Jama’ahlah yang menjadi ‘wakil’ Tuhan di bumi. Jama’ahlah yang menentukan siapa yang akan memegang otoritas politik dan agama. Pemimpin umat dipilih oleh Jama’ah. Keputusan-keputusan apapun yang menyangkut masyarakat Muslim ditentukan oleh Jama’ah lewat musyawarah.
Hasil putusan Jama’ah disebut Ijma’. Sekali diputuskan, Ijma menjadi sumber hukum yang harus diikuti oleh semua anggota Jama’ah. Umar RA pernah mengatakan bahwa “Tangan Allah itu di atas Jama’ah.” Apa yang baik menurut Jama’ah pasti baik menurut Tuhan. Orang Islam yang keluar dari Jama’ah dianggap bukan Islam. “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan lepas dari Jama’ah, maka matinya adalah mati Jahiliyyah,” demikian kata Nabi. Jahiliyyah adalah keadaan seseorang atau suatu masa sebelum Islam.
Identifikasi yang sangat jelas antara Jama’ah dengan Islam ada pada masa Nabi. Waktu menyeru kepada Islam, Nabi kadang-kadang mengggunakan kata-kata “Masuklah Anda ke Jama’ah.” Maksudnya, masuklah Anda ke dalam Islam. Tetapi perlu diingat bahwa Madinah pada masa Nabi juga dihuni kalangan non-Muslim (antara lain, Yahudi). Pembuatan Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisi hak dan kewajiban masing-masing angggota masyarakat Madinah, tentu saja melibatkan kelompok-kelompok non-Muslim. Analisa terhadap dokumen itu menunjukkan bahwa piagam ini tidak dibuat sekali jadi, tetapi dalam beberapa tahapan melalui negosiasi yang alot.
Sebagai produk dari sebuah negosiasi, tidak semua apa yang ditulis di dalam dokumen itu sesuai dengan keinginan Nabi dan orang-orang Islam. Nabi, misalnya, dalam dokumen itu tidak meletakkan dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi lebih sebagai kepala suku. Demikian juga, tidak semua kepentingan orang-orang non-Muslim diakomodasi oleh dokumen tersebut. Masing-masing bergeser dari posisi awal dan berusaha menemukan kesepakatan.
Berasal dari bahasa Arab, jama’ah berarti ‘persatuan’ atau ‘kebersamaan.’ Sembahyang berjama’ah artinya sembahyang bersama-sama. ‘Ijma’ adalah keputusan bersama. Menekankan aspek kebersamaan, Jama’ah lebih dari sekedar persoalan mayoritas minoritas, sehingga simple majority bukanlah mekanisme yang diadopsi untuk memperolah keputusan. Ia adalah instrumen dimana hubungan kemanusiaan, pengakuan adanya perbedaan, partisipasi semua pihak, dan kelegaan bersama dipelihara. Kebersamaan tidak dicapai dengan cara menghilangkan kelompok lain, tetapi dengan cara dialog.

Ahlu Sunnah Wal-Jamaah memiliki metoda, haluan atau pedoman yaitu meliputi:
Nash Qath’iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan. Nash qath’iy harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran, karena memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.
Ar-Ra’yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath’iy atau tidak ada /nash/nya. Penggunaan ar-ra’yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat. Ar-ra’yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra’yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz.
Penggunaan ar-ra’yu harus dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat yang ketat, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Keharusan bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri adalah mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad dan bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Diantaranya yang dapat diikuti yaitu para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau taklid. Firman Allah dalam al-Anbiya’ ayat 7 yang artinya: “Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu”.
Dalam mempermudah jalan mempelajari dan memahami al-Islam, para ulama salaf, shalihin, yang menjadi rujukan dalam paham ahlu sunnah Wal-Jama’ah ialah mereka yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. Secara umum para ulama itu antara lain: Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy’ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy. Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’iy, dan Imam Hambali. Dalam bidang tasawuf: Al-Ghazali.

Prinsip Dasar Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi rujukan bagi tingkah laku sosial dan pemahaman keagamaan. Prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama’ah, yang bersumber kepada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas ini telah menjadi paradigma sosial-kemasyarakatan yang terus dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat Islam dan pemikirannya.
Prinsip-prinsip dasar ini meliputi :
Pertama, prinsip tawassuth, yaitu jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Tasawuth dapat berarti Moderasi, yakni menengahi antara dua pikiran yang ekstrem; antara Qadariyah (free-willism) dan Jabariyah (fatalism), ortodoks salaf dan rasionalisme Mu’tazilah, dan antara sufisme falsafi dan sufisme salafi. Sikap moderasi Ahlussunnah wal Jama’ah tercermin pada metode pengambilan hukum (istinbâth) yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula dalam berfikir selalu menjembatani antara wahyu dengan rasio (al-ra’y). Metode (manhaj) seperti inilah yang diimplementasikan oleh imam mazhab empat serta generasi lapis berikutnya dalam menghasilkan hukum-hukum.
Penerapan sikap dasar tawassuth dalam usaha pemahaman al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber ajaran Islam, dilakukan dalam rangka : (1) Memahami ajaran Islam melalui teks mushhaf al-Qur’an dan kitab al-Hadits sebagai dokumen tertulis; (2) Memahami ajaran Islam melalui interpretasi para ahli yang harus sepantasnya diperhitungkan, mulai dari sahabat, tabi’in sampai para imam dan ulama mu’tabar; (3) Mempersilahkan mereka yang memiliki persyaratan cukup untuk mengambil kesimpulan pendapat sendiri langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Kedua, prinsip tawâzun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dan akherat, kepentingan pribadi dan masyarakat, dan kepentingan masa kini dan masa datang. Pola ini dibangun lebih banyak untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial politik. Dalam bahasa lain, melalui pola ini Ahlussunnah wal Jama’ah ingin menciptakan integritas dan solidaritas sosial umat.
Dalam politik. Ahlussunnah wal Jama’ah tidak selalu membenarkan kelompok garis keras (ekstrim). Akan tetapi, jika berhadapan dengan penguasa yang lalim, mereka tidak segan-segan mengambil jarak dan mengadakan aliansi. Jadi, suatu saat mereka bisa akomodatif, suatu saat bisa lebih dari itu meskipun masih dalam batas tawâzun.
Ketiga, prinsip tasâmuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu, saling memusuhi, dan sebaliknya akan tercipta persaudaraan yang islami (ukhuwwah islâmiyyah).
Berbagai pemikiran yang tumbuh dalam masyarakat Muslim mendapatkan pengakuan yang apresiatif. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat. Corak ini sangat tampak dalam wacana pemikiran hukum Islam yang paling realistik dan paling banyak menyentuh aspek relasi sosial.
Dalam diskursus sosial-budaya, Ahlussunnah wal Jama’ah banyak melakukan toleransi terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya. Formalisme dalam aspek-aspek kebudayaan dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah tidaklah memiliki signifikansi yang kuat. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam tradisi kaum Sunni terkesan hadirnya wajah kultur Syi’ah atau bahkan Hinduisme.
keempat, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Dengan prinsip ini, akan timbul kepekaan dan mendorong perbauatan yang baik dalam kehidupan bersama serta kepekaan menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan kehidupan ke lembah kemungkaran.
Jika empat prinsip ini diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa ciri dan inti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah adalah pembawa rahmat bagi alam semesta (rahmah li al- ‘âlamîn).

Berijtihad vs Bermazhab
Berbicara tentang Ahlus Sunnah wal Jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra’yu adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath’iy, pasti.
Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath’iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma’ atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah: 1) Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain. 2) Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua hal ini harus dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenarkan kecenderungan selera dan hawa-nafsu. Dengan demikian, tidak sulit memastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad.
Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen. Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi’iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.
Ada alternatif lain yang disebut ittiba’, yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya.Namun mewajibkan ittiba’ atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba’? ittiba’ hanyalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba’ tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.

Wallahu l-Muwaffiq